About Me

Foto Saya
Bad Friend Trio
Kami tiga orang anak SMP yang awesome! (tapi rada' edan..) Ayu: tapi masih Awesome man aku kan??? *ditabok* Mitha : saking awesomenya kamu, kamu jadi aneh, tau nggak! *dilempar granat*
Lihat profil lengkapku

Followers

Minggu, 14 Agustus 2011

PostHeaderIcon A Piece of Hell (Fanfic)--Draft


“Halo? Apakah ini Ludwig?”

“Ya, saya Ludwig. Siapa ini?”

“Masa kau tidak mengenaliku? Ini aku, Feliks!”

“Oh, hei, Feliks. Ada apa?”

“Hmm... tidak ada apa-apa sih. Aku tahu sekarang kau sering sibuk, jadi... yah, kupikir sedikit jalan-jalan bisa membuatmu segar—“

“Feliks, bisa langsung ke intinya?”

“Ah! Jadi, kalau kau tidak keberatan, aku ingin sekali mengundangmu ke Polandia—“

“—Jangan suruh aku pergi ke peternakan kuda ponimu yang bodoh itu—“

“Aduh, bukan itu! Berhenti menyelaku, Ludwig. Jadi begini, kau tahu kan setiap dua tahun sekali ada festival?”

“Festival?”

“Iya, festival kebudayaan dari seluruh dunia!”

“Ya... lalu?”

“Nah, tahun ini festival itu akan diselenggarakan di Polandia—tepatnya di Warsawa, sebulan lagi. Kau mau datang tidak? Kalau mau, kau bisa mengajak kakakmu.”

“Oh. Baiklah.”

“Bagus! Sampai ketemu di Warsawa, Ludwig!”

###

A Piece of Hell

By Trio Pisces

-Fanfic ini diikutsertakan dalam IHAFest Agustus 2011-

Warning: OOC, gore, AU, jalan cerita yang sedikit tidak jelas.

###

Sebulan setelah telepon tak terduga itu.

Ludwig menatap ke bawah melalui jendela. Pesawat yang ia naiki bersama kakaknya, Gilbert, baru saja lepas landas dari Bandara Leipzig, Jerman. Meninggalkan Berlin menuju Warsawa, Polandia. Akhirnya berangkat juga ia dan kakaknya ke Polandia, walaupun dengan sedikit enggan. Baru seminggu yang lalu ia mendapatkan dua lembar tiket masuk festival kebudayaan itu.

Gilbert yang sudah berharap dibelikan tiket pesawat oleh Feliks langsung marah-marah. Ha, rupanya Feliks berpikir bahwa ia tidak perlu repot-repot membelikan kakak-beradik itu tiket pesawat. Untuk apa? Ludwig hanya bisa menahan malu melihat kelakuan kakaknya yang seperti anak-anak itu.

Yah, akhirnya Ludwig terpaksa pergi jauh-jauh ke Bandara Leipzig hanya untuk membeli tiket pesawat. Awalnya sih, Ludwig menyarankan supaya naik kereta, namun langsung ditolak mentah-mentah oleh kakaknya. Gilbert beralasan ia sering mabuk kalau naik kereta. Sekali lagi, Ludwig menjadi ‘korban’ kakaknya—disuruh membeli tiket.

Tapi sudahlah, lupakan saja semua kekonyolan yang dilakukan oleh seorang Gilbert Beilschmidt.
Ludwig menyandarkan tubuhnya yang terasa berat di kursi penumpang yang empuk. Tangannya baru saja akan meraih kertas bertuliskan Petunjuk Keselamatan di depannya ketika mata biru cemerlangnya tertumbuk pada buku kecil berjudul Polandia: Tentang Kekejaman NAZI Jerman yang terselip di depan. Tertarik, Ludwig mengambil buku itu dan membacanya.

Warsawa, terutama, menjadi saksi bisu kekejaman NAZI Jerman. Di sana terdapat ghetto—lingkungan terpisah yang terpaksa dihuni kaum Yahudi pada zaman NAZI—terbesar di Eropa. Pada tahun 1943, terjadi pemberontakan besar di sana. Dari 60.000 orang yang bermukim di sana, 7.000 di antaranya meninggal dalam pemberontakan tersebut...

Ya, ya, semua itu tentu saja sudah ia ketahui. Memangnya ia tidak tahu bahwa nyaris seluruh Eropa sempat membenci negaranya? Memangnya ia tidak tahu sejarah kelam negaranya, Jerman? Ah, sudahlah. Ludwig menutup buku itu dan mengembalikannya ke tempat semula. Matanya terasa berat. Dengan malas, ia meluruskan kakinya dan mulai tidur.

###

Entah sudah berapa menit berlalu ketika Gilbert membangunkannya dan memberitahu bahwa mereka sudah sampai di Warsawa.

“Sudah sampai?” tanya Ludwig seperti orang bego.

“Iya! Ayo deh, jangan sampai kita terlambat ke festival itu!” Gilbert segera menarik adiknya dan mengajaknya keluar dari pesawat. Beberapa saat kemudian, mereka sudah meluncur ke pusat Kota Warsawa.

Bus yang mereka tumpangi berhenti. Ludwig dan Gilbert segera turun dengan sangat bergairah. Mereka pikir, festival kebudayaan itu bakal ramai.

Namun kenyataannya, tempat itu sepi senyap. Di sekitarnya, bau busuk menguar. Semua yang ada di situ berantakan. Seperti habis diterjang tsunami. Tapi, hei, ini Warsawa! Bukan Amsterdam, apalagi Jakarta. Warsawa! Memangnya Warsawa bisa terkena tsunami?

Belum habis keterkejutan mereka berdua, tiba-tiba sepotong tangan yang terlihat kasar dan busuk terangkat dari balik meja, beberapa meter di depan mereka.

“Err... West?”

“Apa?”

“Kau... apa kau punya bayangan benda apa itu?” tanya Gilbert, suaranya terdengar takut.

“K-kalau kau tanya aku, bruder, menurutku itu—“

Belum sempat Ludwig menyelesaikan kalimatnya, mendadak tempat itu ramai. Bukan ramai oleh manusia yang memenuhi festival itu, melainkan—

ZOMBIE!” teriak Gilbert. Benar saja, puluhan, bahkan ratusan zombie alias mayat hidup keluar dari mana saja: kursi yang terbalik, meja, reruntuhan, atau tumpukan besi. Tiba-tiba saja imajinasi Ludwig melesat jauh, membayangkan zombie-zombie tersebut adalah mayat korban pemberontakan ghetto di Polandia itu. Tapi tentu saja, itu tidak mungkin.

Bruder—“ Ludwig menahan napas saking terkejutnya. “—jangan lari! Tenang!”

Jari-jari Ludwig mencengkeram bahu Gilbert yang bersiap untuk lari. Walaupun begitu, kentara sekali tangannya gemetaran.

Tak jauh dari tempat mereka, berdiri seorang wanita yang wajahnya terlihat pias. Tubuhnya gemetar. Wanita berambut pirang itu—kemungkinan wanita Polandia yang bernasib sama dengan Ludwig dan Gilbert—berusaha mati-matian untuk tidak bergerak sedikitpun. Ekspresinya seperti berharap agar mata-mata busuk berwarna merah darah itu tidak mengenalinya sebagai manusia—salah, mangsa.

Tubuh wanita itu semakin gemetaran tatkala sekitar setengah lusin zombie mendekatinya. Usahanya untuk tidak bergerak jelas sekali gagal total. Ludwig dan Gilbert melihatnya dan berniat menolongnya, namun...

“AAAAAA!!”

Terlambat.

Wanita itu sudah dicengkeram para zombie yang mengepungnya. Ludwig segera berlari dan menyambar wanita itu, berharap ia tidak terkontaminasi wabah zombie.

Namun semua harapannya tidak terwujud.

Wanita itu telah berubah menjadi zombie.

Wanita itu menoleh pada Ludwig. Wajahnya sebenarnya cantik, namun para zombie tersebut telah melenyapkan sebagian besar kecantikannya. Ludwig terlalu terkejut untuk bisa berbicara.

“A....”

WEST! LARI!”

Ludwig menoleh. Gilbert, berdiri beberapa meter darinya, kakinya gemetaran. Wajah kakaknya yang sangat putih menjadi semakin pucat melihat adiknya nyaris diterkam zombie.

WEST! APA KAU TULI?! LARI, SEKARANG!”

Gilbert tak tahan lagi. Dia berlari, menerjang kerumunan zombie yang mengelilingi adiknya. Segera, dia menyambar lengan Ludwig yang berkeringat dingin, menariknya, kemudian mengajaknya berlari—ralat, setengah menyeret dirinya, sebetulnya.

Bruder—!” Ludwig mengerang kesakitan.

Apa?” jawab Gilbert galak.

“Lepaskan—tanganku—!”

Gilbert berhenti sejenak. Matanya yang semerah darah berkilat-kilat. Kemudian ia menyentakkan tangannya.
“Baiklah,” tukasnya kesal, sambil melepaskan tangan adiknya, “tapi kau harus cepat-cepat la—“

Tanpa ada peringatan apapun, mendadak sesosok zombie melompat ke punggung Gilbert dan melingkarkan kedua tangannya yang kasar ke leher Gilbert.

“—ri!”

BRUDER!” teriak Ludwig panik. Gilbert meronta-ronta, berusaha melepaskan makhluk mengerikan itu dari punggungnya. Tapi zombie itu masih saja berkutat di leher Gilbert, seakan-akan ia adalah pasangan Gilbert yang minta digendong dengan manja.

Mata biru Ludwig berputar-putar, mencoba mencari sesuatu yang ia bisa raih untuk menyingkirkan zombie itu. Ia menemukan tongkat pemukul kasti, mengambilnya, dan berusaha memukul kepala, punggung, atau apa saja, asal masih bagian tubuh zombie sialan itu.

DUAKH!

Pukulan Ludwig tepat mengenai kepala zombie itu, dan yang dipukul terhuyung. Namun bukan hanya zombie itu saja yang terhuyung dan jatuh, Gilbert juga ikut jatuh dan terhempas ke tanah. Zombie itu terbangun, menatap Gilbert dengan ekspesi sangat lapar, dan kemudian...

BRUDEEEEEER! TIDAAAAAAAKK!”

Terlambat.

###

“TIDAK! TIDAK! BRUDER! BRUDER! AKU—“

PLAK!

Ludwig membuka matanya dengan ketakutan. Di depannya, tampak Gilbert mengangkat tangannya, sepertinya habis menampar dirinya. Ludwig memandang sekelilingnya. Orang-orang memandangnya dengan ekspresi jijik. Tampak seorang pramugari menatap padanya dengan ekspresi shock.

Tunggu sebentar. Bukankah seharusnya dia sudah berada di Warsawa? Kenapa dirinya masih berada di dalam pesawat? Dan kakaknya... kakaknya sudah menjadi korban zombie, kan?

B—bruder?” bisik Ludwig parau.

“Astaga, Ludwig! Kau ini kenapa, sih? Mimpi?” tanya Gilbert keheranan. Ludwig diam. Masih belum menemukan kesadaran untuk bisa mengeluarkan kata-kata dari bibirnya yang gemetar.

“T-tapi... kupikir bruder... sudah mati,” ucap Ludwig ketakutan dengan suara yang dikecilkan. Dahi Gilbert berkerut tiga, bingung.

“Apa yang kau—?” tanya Gilbert, wajahnya tampak khawatir sekali. “Ada apa? Ceritakan saja.”

Maka dengan sangat enggan, Ludwig bercerita tentang mimpi konyolnya barusan. Beberapa menit setelah ceritanya usai, jeda menyusul. Kemudian terdengar tawa Gilbert.

“Hahaha! Ludwig, apa kau pikir aku akan mati semudah itu?” kata Gilbert di sela-sela tawanya, “kau pikir kakakmu yang hebat ini akan mati semudah itu di tangan para zombie? Mimpi apa sih kau? Bodoh sekali,” lanjutnya sambil senyum-senyum sendiri.

Ludwig menatap kakaknya sebal, kemudian membuang mukanya ke jendela pesawat. Entah karena kelelahan atau apa, dalam beberapa menit kepalanya sudah terkulai lagi ke bangku penumpang. Tidur.

###

Ludwig nyaris terjatuh dari kursinya saat pesawat yang ditumpanginya miring ke bawah, hendak landing.

“Sudah sampai?” tanyanya, masih setengah sadar.

“Hampir,” gumam Gilbert yang duduk di sebelahnya.

“Ini sungguhan, kan?” tanya Ludwig tolol. Mengingat mimpi konyolnya tadi, rasanya malu sekali. Gilbert melayangkan pandangan tentu-saja-ini-sungguhan pada adiknya.

Mengucek-ucek matanya yang masih berat, ia melepaskan sabuk pengaman dan turun dari pesawat bersama kakaknya. Beberapa saat kemudian mereka naik taksi menuju pusat kota Warsawa.

Ludwig menghela napas. Semoga saja festival ini berjalan dengan normal, batinnya. Sampai dirinya dan kakaknya kenapa-napa, salahkan saja Feliks. Kenapa dia mengundang mereka ke Polandia? Apa ada alasan khusus?

Beberapa menit kemudian, mereka sampai. Dan ekspektasi Ludwig tampaknya berjalan lancar. Tempat itu ramai, berbagai arena permainan dan kios-kios makanan berjejer. Semuanya tampak normal. Tanpa ada sesuatu yang janggal.

“Ludwig! Gilbert! Di sini!”

Tak jauh dari mereka, Feliks melambai-lambaikan tangannya dengan bersemangat. Ia mengenakan pakaian tradisional Polandia. Kakak beradik itu bergegas menghampirinya.

“Halo,” sapa Ludwig enggan. “Sudah lama berada di festival ini?”

“Ya, kebetulan aku mengurus stand kebudayaan Polandia,” jawab Feliks riang. “Mau kuantar jalan-jalan?”

“Tidak, kurasa tidak perlu, Feliks. Uruslah stand-mu dan jangan pedulikan kami, oke?” kata Ludwig cepat-cepat. Otaknya sedang tidak ingin dijejali berbagai teori konyol soal kuda poni oleh Feliks. Ia buru-buru menyingkir dan melihat berkeliling. Ia dan Gilbert melewati stand Inggris, Italia, Jerman, dan masih banyak lagi. Wah, stand Jerman menjual bratwurst ternyata. Segera saja dirinya dan Gilbert kekenyangan.

Bosan, Ludwig berjalan ke panggung utama.

Selasa, 02 Agustus 2011
bukti otentik wawancara




Playlist!